Rabu, 18 April 2001

Itu karena ada penyakit yang aneh, yaitu "cinta kesenian" (tertawa). Itu, ya, tidak masuk akal. Untuk pentas satu dua hari latihan tiga bulan sampai jungkir balik. Terus cuma ditonton 50 orang. Kenapa? Ya itu penyakit. Saya kan lagi bikin proyek opera dengan orang Amerika. Di sana ketemu seniman-seniman Amerika dan luar negeri dan bergabung. Di New York itu ada 3.000 organisasi kesenian yang ingin dapat dana. Itu berebut dan kadang-kadang tidak tahu minta ke mana. Ada grup teater perempuan yang main empat orang. Dia dapat dana dari Ford Foundation. Saya tanya -saya kan pengen dapat dana juga- bagaimana caranya. Dia bilang, dia juga tidak tahu (tertawa). Mereka sudah empat tahun minta tapi baru sekarang dapat. Orang di sana ada yang disebut day job. Jadi aktor hebat di malam hari, siangnya jadi pelayan restoran. Saya lihat di Seattle, lulusan sekolah musik hebat, ngamen di jalan-jalan atau di restoran. Tony Prabowo (seorang pentolan Teater Utan Kayu yang menggeluti musik kontemporer, Red.) pernah tanya, satu malam dapat berapa sih?, "Paling hanya 10 dolar". Ada penyanyi dari Seattle yang hebat sekali. Dia bisa nembang Jawa baik sekali. Tapi tahu hidupnya bagaimana? Tony melihat sendiri, dia cari makan dari makanan bekas restoran. Di sana kan makanan bekas dibuang tapi tempatnya bagus. Dia datang dan mengambil. Bayangkan. Apa itu? Penyakit! Cinta seni itu penyakit. Tidak rasional. Untuk apa coba jadi Hamlet (tokoh lakon drama Hamlet-nya Shakespeare, Red.)? Latihannya lima bulan. Tapi, belum tentu bisa dapat resensi bagus. Dan, siangnya jadi pelayan restoran. Di Jepang juga begitu. Yang agak lumayan katanya di Belanda karena disubsidi. Kalau di Jepang ada seniman yang kaya, itu pasti kaya dari warisan he..he.. -Goenawan Mohamad dalam wawancara Majalah GAMMA, 1999-